SERMON SERIES: MELAWAN PUAS DIRI - "HAMBA YANG JAHAT DAN MALAS"

SERMON SERIES: MELAWAN PUAS DIRI – “HAMBA YANG JAHAT DAN MALAS”

MELAWAN PUAS DIRI

“Hamba yang Jahat dan Malas”

Matius 25:14-30 (TB)

Saksikan Khotbah Selengkapnya: https://www.youtube.com/live/F5FMnxeMDW4?feature=share

 

Tidak ada hal yang lebih menghancurkan daripada rasa puas diri (complacency), di mana tidak ada perasaan mendesak untuk mengubah keadaan dan tidak sadar akan bahaya maupun kekurangan diri. Buah dari complacency adalah dosa. Sama halnya dalam kerohanian, celakalah jika kita terus merasa aman di Sion atau merasa puas diri akan kerohanian (complacency rohani). “Celaka atas orang-orang yang merasa aman di Sion, atas orang-orang yang merasa tenteram di gunung Samaria, atas orang-orang terkemuka dari bangsa yang utama, orang-orang yang kepada mereka kaum Israel biasa datang!” – Amos 6:1 (TB).  

 

Jika kita memiliki complacency rohani dan tetap tinggal dalam dosa, maka kita tidak akan pernah merasakan adanya sense of urgency untuk membereskan dosa tersebut. Hal ini hanya dapat dilawan dengan kesetiaan. Kesetiaan dapat dilihat dari 3 hal, yaitu: faithful (setia), trustworthy (dapat dipercaya), dan reliable (dapat diandalkan). 

 

Tiga alasan mengapa complacency dapat menghancurkan: 

  1. Karena rasa puas diri membuat kita memiliki kemampuan yang rendah.

    Ketika Tuhan mempercayakan setiap individu sebuah talenta, itu berarti Tuhan mempercayakan menurut kemampuan orang tersebut. Banyak orang berkata bahwa kemampuan tidak bisa berkembang. Namun, nyatanya kemampuan dapat berkembang seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman. 
  2. Karena rasa puas diri menciptakan para pengecut.
    Perasaan takut memang bagian dari manusia. Namun, Tuhan menentang dengan keras perasaan pengecut. “Tetapi orang pengecut, pengkhianat, orang bejat, pembunuh, orang cabul, orang yang memakai ilmu-ilmu gaib, penyembah berhala, dan semua pembohong, akan dibuang ke dalam lautan api dan belerang yang bernyala-nyala, yaitu kematian tahap kedua.” – Wahyu 21:8 (BIS). Perasaan pengecut ini membuat seseorang terus menyalahkan Tuhan, tidak berani meminta maaf, dan menyerah sebelum mencoba sesuatu.
  3. Karena rasa puas diri selalu membawa konsekuensi.
    “Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil daripadanya. Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” – Matius 25:26-30 (TB).


Harga termahal dari segalanya adalah sebuah restu atau berkat (blessing) dari Tuhan untuk kita menjalani kehidupan. Tuhan memberi blessing kepada kita untuk melakukan sesuatu. Di dalam blessing tersebut akan selalu ada penyertaan Tuhan, karena blessing dari Tuhan sama artinya dengan sebuah kepercayaan.